Minggu, 12 Juni 2011

"Main Gila" Soal Kesejahteraan dan Kemiskinan

Beberapa hari yang lalu, Khalid seorang ustaz di pemukiman dekat rumah saya yang baru saja pulang dari salat jumat, terlihat terbirit-birit berlari mengejar dua pengendara motor yang belakangan diketahui adalah maling yang mencuri tas yang tergeletak di atas meja rumahnya. Namun sayang meski sudah dikejar, maling-maling tersebut berhasil lolos dari kejaran warga kali ini.

Belakangan, aksi pencurian memang tengah marak di berbagai sisi kota Jakarta. Hal ini sebenarnya sudah di sadari oleh berbagai pihak baik oleh kepolisian, maupun paguyuban warga di berbagai pemukiman tersebut. Kegiatan ronda malam terlihat makin gencar, seiring berbagai peringatan yang dipampang untuk waspada terutama di saat-saat liburan maupun waktu sepi, seperti jumat siang. Namun tetap saja maling-maling tersebut tak pernah hilang akal dalam melaksanakan aksinya.


Berbicara masalah kriminalitas, yang akhir-akhir ini terjadi, kasus yang beredar tidak sekadar masalah pencurian belaka. Aksi kriminalitas dengan penggunaan senjata api, maupun tindak terorisme terasa begitu mengancam tatanan kehidupan warga masyarakat. Modusnya pun semakin canggih, dan sadis. Bahkan fenomena merajalelanya mampu melampaui batas geografis, lintas strata ekonomi, bahkan lintas SARA.

Kasus Ustaz Khalid di atas mungkin bisa dijadikan simbol, bahwa kriminalitas saat ini telah mampu menerabas simbol ‘sakral’ di masyarakat sekalipun. Alhasil, warga merasa frustasi untuk hidup, minimal dari sisi keamanan ekonomi dan fisik dari gangguan pelaku kriminal.

Kefrustasian warga sebagaimana kasus di atas, tentu belum termasuk dalam keamanan dalam kesehatan, pendidikan, koneksi sosial, hingga kebebasan untuk berpolitik, dan memperoleh keadilan. Di mana semua lini tersebut jelas-jelas sulit untuk dikatakan ideal saat ini, bila kita kembali melihat fakta-fakta yang terjadi di lapangan. Oleh karena itu sulit pula untuk bisa dikatakan bahwa kesejahteraan masyarakat saat ini juga telah membaik. Padahal ke semua aspek tersebut terus menerus menunjukkan berita dukanya sebagaimana diberitakan media-media massa.

Harus diakui bahwa data ekonomi Indonesia saat ini menunjukkan nilai yang positif. Sebagaimana diketahui Badan Pusat Statistik (BPS) pada medio paruh awal tahun ini  memang mengumumkan bahwa angka pertumbuhan Indonesia pada 2010 lalu sedang melesat mencapai angka 6,1%. Angka tersebut berhasil menembus target pertumbuhan berdasarkan APBN 2010 yang hanya 5,9%.

BPS mengumumkan bahwa angka tersebut dibentuk atas pertumbuhan konsumsi publik sebesar 4,6%, komponen pembentukan modal tetap bruto 8,5% dan perubahan inventori sebesar 463,1%. Ekspor 14,9% dan impor 17,3%. Sedangkan sumbangsih belanja pemerintah hanya 0,3%.

Pemerintah juga mengumumkan, bahwa dengan naiknya angka pertumbuhan ini, pendapatan perkapita nasional memang mengalami kenaikan sebesar 13% dibandingkan 2009 lalu. Dengan asumsi kurs Rp9.000 per USD telah terjadi peningkatan pendapatan perkapita sebesar 655.3 per USD, menjadi 3.004,9 pada 2010 tersebut.
Bahkan kenaikan ini dinilai BPS memiliki implikasi positif terhadap peningkatan konsumsi masyarakat baik yang sifatnya dasar, menengah, hingga mewah. Seperti pangan, perumahan, hingga transportasi dan komunikasi. Apalagi menurut tren dalam dua tahun belakangan, penjualan barang konsumen mencapai 20%.

Akan tetapi memandang angka pertumbuhan tersebut –yang berbasis pada Produk Domestik Bruto (PDB)- sebagai sebuah capaian dalam meningkatkan kesejahteraan masyarakat, rasanya masih jauh dari panggang. Bukan ingin mengeralisir, namun kasus pencurian –bahkan aksi terorisme sekalipun- yang kian marak mungkin bias dijadikan refleksi bahwa bunga-bunga ekonomi tersebut masih belum terditribusi dengan rata, alih-alih untuk dijadikan gambaran tingkat kesejahteraan warga secara lebih rill.

"Kesaktian" PDB: Kekakuan Teknis vis a vis "Main Gila" dalam Angka

Hampir di seluruh Negara-negara di dunia saat ini menggunakan angka Produk Domestik Bruto (PDB) sebagai patokan dalam mengukur kinerja perekonomian di negaranya. Selain karena sifatnya yang sudah umum digunakan oleh berbagai Negara, pengukurannya pun relativf mudah dan fleksibel untuk digunakan.

Secara prinsip Pengukuran jumlah PDB dihitung melalui akumulasi dari total konsumsi (C) Investasi Kotor (I), Pengeluaran Pemerintah (G), dan Ekspor Bersih (nX). Meski demikian metode penghitungan masing-masing faktor tersebut dikembalikan kepada mazhab ekonomi yang dianut oleh Negara yang bersangkutan.

Sebagai contoh, dalam penentuan total konsumsi (C) bisa diintepretasikan ke dalam tiga alternatif pendekatan. Hal tersebut meliputi pendekatan Pendapatan, Pendekatan pengeluaran, atau pendekatan dengan atas jumlah produksi. Hal ini dengan asumsi ketiga pendekatan tersebut akan menghasilkan nilai yang sama pada masing-masing akhir penghitungannya.

Pada Negara-negara penganut mazhab sosialis, biasanya pendekatan yang mendominasi adalah aspek produksi. Sedangkan penganut mazhab neo-liberal, biasanya lebih menekankan pada aspek Konsumsi. Di Indonesia sendiri, data yang diungkap ke publik lebih menekankan pada aspek produksi. Hal ini bisa dilihat dari data-data yang diungkap ke publik, dalam bentuk nilai tambah dari berbagai barang dan jasa yang diproduksi setiap tahunnya, yang diklasifikasikan menjadi 9 sektor.

Berangkat dari pengukuran PDB inilah, kemudian berbagai perhitungan-perhitungan ekonomi mulai diturunkan. Mulai dari pengukuran laju perekonomian makro, kepentingan investasi, perdagangan luar negeri, hingga pendapatan perkapita penduduk diharapkan bisa terjelaskan dari angka ‘sakti’ ini.

Meski terbilang ‘sakti’, tetap saja PDB ini memiliki beberapa kecacatan untuk mengukur kondisi riil perekonomian di lapangan. Efek inflasi, maupun distribusi yang kurang merata kerap mengganjal perhitungan yang selaras atas angka di atas kertas vis a vis kondisi di lapangan. Alhasil kebijakan-kebijakan yang diterapkan oleh pemerintah (sebagai stakeholders terpenting) kerap kurang akurat dalam mencapai sasarannya. Hal tersebut alih-alih justru dimanfaatkan oleh entitas politik yang berkuasa untuk mempercantik popularitas politik dihadapan public.

Ambil contoh data kemiskinan yang dirilis Awal tahun ini. BPS dalam keterangannya mengumumkan bahwa angka kemiskinan di Indonesia terus menurun. Dikatakan Direktur Analisis dan pengembangan Statistik BPS, Kecuk Suhariyanto, bahwa sejak 2006 angka kemiskinan telah berkurang sebanyak 8,28 juta jiwa menjadi 31,02 juta jiwa pada tahun ini. Kecuk menjelaskan angka ini didapat setelah melewati ambang kemiskinan  makanan dan non-makanan. Atau setara dengan pendapatan perkapita Rp 211.726 perbulan (KOMPAS.COM, 17/2/2011).

Namun demikian nampaknya BPS juga masih ‘malu-malu’ dalam menjelaskan kondisi kemiskinan yang sebenarnya terjadi. Buktinya pada rilis resmi yang dikeluarkan pada 27 januari lalu, setelah mendapat serangan dari berbagai pihak soal ke-valid-an data kemiskinan tersebut, BPS akhirnya mengakui bahwa pihaknya mengeluarkan data kemiskinan dalam bentuk mikro dan makro. Bila data yang diumumkan diatas tersebut adalah data makro, maka data kemiskinan mikro pada tahun 2008 saja sudah mencapai 60,4 juta jiwa.

BPS pun berdalih bahwa pembedaan ini bukanlah sebuah masalah yang berarti. Dijelaskan bahwa data makro digunakan untuk menggambarkan angka kemiskinan dalam skala geografis yang lebih luas. Selain itu data makro ini dijelaskan lebih berfokus terhadap perhitungan kemampuan penduduk dalam memenuhi kebutuhan dasarnya dengan parameter angka garis kemiskinan diatas, serta parameter-parameter lain seperti inflasi.

Sementara itu dalam data mikro BPS lebih spesifik mencari ciri dari pola hidup keluarga yang dijadikan sampelnya. Selain itu dikarenakan lebih detil dalam menspesifikasi ciri dari pola hidup keluarga sampel, data penduduk yang masuk kategori rawan miskin juga masuk kedalam objek yang didata. Sehingga adanya selisih angka penduduk antara 31,02 juta dan 60,4 juta jiwa tersebut lebih dianggap sebagai kelas menengah kebawah yang rawan terhadap kemiskinan.

Dari kasus dualisme dalam data kemiskinan ini, maka pemerintah sebaiknya jangan terlalu berpuas diri dulu atas pengurangan kemiskinan seperti yang digembar-gemborkan saat ini. Pasalnya, angka diatas kertas tersebut rasanya belum cukup untuk menjelaskan kondisi kesejahteraan masyarakat secara komprehensif. Alih-alih terjebak dalam eforia angka, pemerintah bisa dianggap ‘Main Gila’ soal angka untuk mendapat popularitas dimata publik.

Kalau sudah begini, maka saja fenomena maraknya pencurian, aksi-aksi terorisme, serta berbagai masalah social akibat ketimpangan ekonomi -yang meresahkan kehidupan masayarakat seperti diungkap diatas- terjelaskan sudah.

Ikhtiar Mengukur Kesejahteraan

Sebenarnya tulisan ini dibuat bukan ingin berprasangka buruk terhadap pemerintah –soal politik popularitas, alih-alih melakukan provokasi didalamnya. Pasalnya memang sama-sama dipahami, untuk merumuskan makna kesejahteraan, dan kemudian mengukurnya dalam bentuk angka, bukanlah sebuah perkara mudah. Namun demikian bukan berarti tidak ada ikhtiar untuk keluar dari masalah ini. Mungkin sudah saatnya bagi pemerintah –sebagai bentuk kesungguhan membela rakyat- untuk mencari pengukuran ganti dari pengukuran kesejahteraan selama ini.

Mungkin ikhtiar Presiden Prancis, Nicholas Sharkozy, dalam hal ini perlu dijadikan referensi. Sebagaimana diketahui, pada 2008 lalu, Sharkozy menyewa serombongan ekonom besar dunia untuk duduk bersama yang salah satunya untuk membicarakan isu-isu kesejahteraan tersebut. Sederetan nama-nama besar seperti Joseph E Stiglitz (peraih nobel 2001), Amartya Sen (peraih nobel 1998, Jean-Paul Fittousi (Professor di Institute d’Etudes Politiques Paris, serta Robert D Putnam (pakar Modal Sosial dari Harvard University) termasuk kedalam Komisi Pengukuran Kinerja Ekonomi dan Kemajuan Sosial tersebut.

Salah-satu isu utama yang dibahas dalam Komisi ini adalah, mencari pengganti penghitungan kesejahteraan yang diharapkan lebih akurat, ketimbang PDB yang kontroversial tersebut. Dalam laporannya, komisi tersebut mengakui bahwa untuk mencari pengganti tersebut bukan lah yang mudah. Butuh kerja keras serta penelitian-penelitian yang terus menerus, sehingga diharap dicapai sebuah parameter kesejahteraan, yang minimal bias mendekati makna kesejahteraan (yang sebenarnya masih debatable pula).

Dalam Komisi tersebut beberapa parameter dari berbagai dimensi kesejahteraan. Dimensi tersebut meliputi Standar hidup material (pendapatan, konsumsi dan kekayaan); Kesehatan; Pendidikan; Aktivitas individu (termasuk bekerja); Suara politik dan tata pemerintahan; Hubungan dan kekerabatan sosial; Lingkungan hidup (kondisi masa kini maupun yang akan datang); serta tak ketinggalan soal Ketidakamanan, baik yang bersifat ekonomi maupun fisik.

Komisi tersbut, diakhir kesimpulannya mengakui, bahwa hasil penelitian mereka masih untuk mencapai format pengukuran kesejahteraan yang ideal. Oleh karena itu mereka merekomendasikan bagi para peneliti diberbagai Negara untuk menindak lanjutinya. Hal ini tentunya tak lepas dari dukungan bagi pemerintahan di negara-negara tersebut untuk mendukung upaya baik ini.

Muhammad Abduh
Praktisi Statistik; Peneliti Sosial Ekonomi di JongNusantara Institute,
Alumni Agribisnis UNAND, Kader KAMMI Sumbar, Penggiat Lingkar Studi Andalas (LSA)


sumber : http://suar.okezone.com/read/2011/06/10/58/466710/main-gila-soal-kesejahteraan-dan-kemiskinan

۩۞۩۩۞۩۩۞۩۩۩۞۩۩۞۩۩۞۩۞۩۩۞۩۩۞۩۩۩۞۩۩۞۩۩۞۞۩۩۞۞۩۩۞

Tidak ada komentar:

Posting Komentar